Eksperimen Baru Tesla Manaf: Bagaimana Upacara Adat Kulon Progo Diterjemahkannya Menjadi Musik?

Zamzama NA
7 min readOct 4, 2023

--

Untuk menunjukkan suatu kisah, manusia cenderung menggunakan lisan sebagai mediumnya. Dengan ditampilkan secara oral, kisah-kisah dianggap dapat lebih tersampaikan, jelas, dan lugas. Itu tak salah. Apalagi, di Indonesia, budaya bertutur-kisah sudah mengakar dari masa nenek moyang.

Namun Tesla Manaf dan Karawitan Trisula adalah anomali dari kecenderungan tersebut. Pertunjukan kolaborasi mereka bertajuk Panenswara, pada Jumat, 29 September 2023 lalu, menunjukkan bahwa suatu kisah bisa disampaikan dengan nuansa musikal, tanpa perlu mengisahkannya secara literal.

Panenswara merupakan program residensi musik yang diselenggarakan Festival Kebudayaan Yogyakarta 2023, yang bertujuan memaknai nilai dalam suatu upacara adat dengan sudut pandang yang berbeda.

“Program ini kami namakan Panenswara. Karena sedang mencari upacara adat yang kaitannya dengan ketahanan pangan,” kata Djenar Kidjing, selaku programmer Panenswara. “(Karena itu) kami dari panitia FKY dan Mas Tesla Manaf dolan, sowan ke Clapar”.

Upacara adat yang dimaksud Kidjing adalah upacara Nawu Sendang. Secara literal, “Nawu Sendang” berarti menguras dan membersihkan kolam. Dalam paradigma masyarakat Clapar, Hargowilis, Kokap, Kulon Progo, Nawu Sendang merupakan sebentuk ungkapan syukur mereka atas anugerah berupa Sendang Sumber Rejo sebagai mata air yang melimpah.

Tesla Manaf berlatih sebelum pentas di Padepokan Selodranan, Clapar, Kulon Progo (https://twitter.com/teslamanaf)

Syahdan, pada zaman dulu, Sendang Sumber Rejo adalah muara segala air yang dibutuhkan masyarakat Clapar, mulai dari untuk minum, mandi, sampai bercocok tanam. Keberadaan Sendang Sumber Rejo cukup signifikan dan, karenanya, terhormat bagi masyarakat lokal. Sendang Sumber Rejo telah menjelma folklor masyarakat lokal, dengan sejarah panjang yang rutin didongengkan secara turun-temurun, disertai dengan berbagai legenda, kepercayaan, dan mite yang melingkupinya. Sejarah panjang Sendang Sumber Rejo adalah sejarah dinamis relasi masyarakat dengan kebutuhannya akan tirta.

Menurut Dimas, salah satu warga lokal Clapar, keberadaan Sendang Sumber Rejo bermula dari kisah orang-orang Keraton ketika lari dari kejaran kompeni Belanda. Setelah menempuh jalan yang panjang dan berliku, mereka akhirnya tiba di Clapar. Singkatnya, mereka merasa kekurangan air dan itu membuatnya melakukan perjanjian dengan danyang untuk membuatkan mata air. Konon, danyang itu menyetujui disertai syarat-syarat tertentu.

“Salah satu syaratnya, setiap 2 tahun harus melaksanakan Nawu Sendang dengan mengadakan tayub itu,” tutur Dimas.

Sampai zaman sekarang, Nawu Sendang selalu dirayakan masyarakat Clapar setiap tahun pada bulan Rajab, dengan ditambah tayub pada setiap dua tahun. Dan Nawu Sendang tetap diselenggarakan meskipun semenjak Perusahaan Air Minum (PAM) memasuki Clapar, secara perlahan masyarakat mulai tidak memanfaatkan Sendang Sumber Rejo, kecuali beberapa warga saja yang tempat tinggalnya cukup dekat. Bahkan, di masa musim kemarau macam sekarang, ketika warga Clapar banyak mengeluhkan susahnya mengakses air, sementara ketergantungan mereka pada Sumber Rejo sudah makin berkurang, Nawu Sendang pun rencananya tetap dilaksanakan pada Rajab besok.

Kompleksitas sosio-historis Nawu Sendang inilah yang menjadi inspirasi Tesla Manaf dan Karawitan Trisula dalam berkolaborasi menciptakan karya musik. Tesla Manaf adalah seorang musisi eksperimental asal Bandung yang kerap menghasilkan album-album musik elektronika, dengan medium synthesizer analog dan instrumen kornet. Sementara Karawitan Trisula adalah grup musik tradisional Clapar dengan alat-alat musik mekanis yang biasa tampil di upacara Nawu Sendang. Idiom musik keduanya memang tampak cukup berlawanan, tapi malam itu keduanya membuktikan mampu menyihir Clapar dengan musik yang megah dan menggelegar.

Malam itu, Panenswara diselenggarakan di Padepokan Selodranan, sekitar 1 kilometer dari Sendang Sumber Rejo. Dengan panggung berupa bangunan joglo Jawa, pertunjukan dimulai oleh Karawitan Trisula dengan gending Kemong-Kemong, gending yang selalu dibunyikan ketika Nawu Sendang. Dengan gending yang khas ini, aura upacara adat barangkali cukup terasa. Lampu-lampu putih menyala cukup terang sedikit remang, sementara jauh nun di sana rembulan menampakkan dirinya dalam bentuk paling sempurna. Sedikit mencekam. Penonton masih lengang.

Gendang, bonang, kempul, gambang secara ritmis berdentang-dentang, menghasilkan irama-irama yang cukup menentramkan. Tak butuh waktu lama untuk menunggu warga berduyun-duyun berdatangan. Apalagi sejak lagu Ladrang Onde-Onde yang cukup ceria mengudara, menjalar ke seantero Clapar, dan merambat ke tembok-tembok rumah, seperti mengabarkan bahwa Nawu Sendang hendak dirayakan.

Setelah penonton cukup ramai, beranda joglo mulai dipenuhi warga dari berbagai kelompok usia, Karawitan Trisula turun dari panggung. Tepuk tangan membahana, menyusul lampu-lampu neon dimatikan. Lilin-lilin di beberapa sudut mulai disulut. Para penonton semakin merapatkan barisan. Sementara di belakang joglo, saya melihat Tesla masih mondar-mandir, kian-kemari, duduk-berdiri, seperti seorang siswa baru yang hendak presentasi di hadapan jajaran kepala sekolah.

Dengan sorotan lampu Parabolic Aluminized Reflector yang menembakkan pendar cahaya berwarna biru, Tesla Manaf dengan berkaos hitam masuk ke joglo dari belakang, diiringi bonang dalam ritme pelan, namun mendebarkan. Tak lama, personel-personel Karawitan Trisula yang memakai beskap putih, jarik, dan blangkon, lengkap dengan ikatnya, menyusul secara bergantian. Saya memasang badan, meski tak cukup yakin bisa paham musik seperti apa yang ditampilkan.

Pertunjukan sebenarnya baru dimulai!

Pertunjukan Panenswara

Jelas saya tak dapat menangkap makna lirik-lirik lagu Jawa yang dinyanyikan, tapi bukannya saya tak dapat menikmati alunan musiknya. Tentu saya tak kesulitan mengidentifikasi mana gendang mana bonang, mana kempul mana gambang. Tapi bukan itu yang bikin saya seakan terpaku.

Musik-musik mekanis khas nuansa Jawa ini, ketika dipadukan dengan musik elektronik eksperimental yang dibuat oleh Tesla Manaf, ternyata menghasilkan perpaduan musik yang cukup unik namun megah. Dengan alat-alat elektroniknya, Tesla menghiasi irama gamelan dengan bebunyian synth dalam berbagai warna dan intensitas. Para penonton begitu hening, terlihat cukup fokus menikmati pertunjukan. Apalagi dengan lampu panggung yang berkelap-kelip, kadang sangat remang dalam rentang yang lama, lalu berganti warna menjadi merah — membuat kita seperti merasakan kegetiran prajurit keraton ketika menembus rimba gelap yang senyap sementara ancaman kompeni terus meluap-luap di kepala.

Tetapi di antara semua irama ritmisnya, bunyi paling mencolok keluar dari instrumen kornet milik Tesla. Kornet itu melengking panjang, semacam suara animal mating call, yang saat dalam suasana yang kelam dan mendebarkan terdengar seperti lolongan bengis seekor hewan dari pedalaman hutan Jawa masa silam.

Sehabis pentas, Dimas memberitahu bahwa kolaborasi keduanya menampilkan Ayak Banyumasan, Caping Gunung, dan Babar Layar, dengan komposisi baru yang diciptakan Tesla. Ketiga lagu itu dibabarkan secara berkelanjutan, tanpa jeda yang jelas, tapi memberikan dinamika ketegangan konflik yang berarti, ibarat tahapan komplikasi, klimaks, dan resolusi dalam sebuah cerita sastra.

Tesla cukup rapi dalam membuat komposisi musik. Tesla membikin lagu-lagu dan gending-gending itu seperti berada di persimpangan antara alam nyata dan dunia legenda, memberikan nuansa-nuansa yang membawa penonton pada kisah-kisah yang menaungi Sendang Sumber Rejo dan Nawu Sendang.

“Luar biasa, saya sebagai pamomong bocah-bocah merasa punya nuansa baru. Saya mendengarkan karawitan yang seperti biasa saja, (tetapi) setelah kerja sama dengan Mas Tesla, (musik ini) bisa membawa ke dunia lain,” ujar Ki Rusmadi, pemilik Padepokan Selodranan sekaligus pembina Karawitan Trisula, sesudah pentas digelar. “Jadi betapa adiluhungnya gamelan kita, betapa luhurnya nenek moyang bangsa kita yang telah menciptakan musik seperti ini”.

Meski komposisi musik Panenswara terkesan penuh improvisasi dan intuitif, tapi sebenarnya komposisi tersebut diciptakan secara sungguh-sungguh dalam lima hari latihan tanpa henti di Padepokan Selodranan. Tak cukup di situ, untuk menciptakan karya musik yang ekstensif, Tesla juga melibatkan dirinya secara emosional dengan masyarakat lokal.

“Tentu banyak sekali (yang mendorong saya untuk membikin karya musik ini). Salah satunya dari keluhan warga tentang air, keluhan warga tentang lingkungan sekitar atau lingkungan pusat…. Jadi buat saya sebenarnya yang mendorong itu curhatan-curhatan dari warga, bukan dari nada, bukan dari musik apapun. Tapi curhatan-curhatan dari warga saya terjemahkan ke dalam musik,” tutur Tesla.

Sesudah pentas itu, saya menghampiri Dimas yang juga menjadi ketua Karawitan Trisula. Daripada saya yang bukan warga lokal dan tak begitu familiar dengan karawitan, tentu Dimas lebih layak untuk memberikan kesan-kesannya pada pertunjukan yang baru saja digelar.

“Ketika mendengarkan (lagu) ini,” kata Dimas, “saya bisa membayangkan, ‘oh mungkin ini itu peristiwanya seperti ini, peristiwanya seperti ini’. Jadi urutan adegannya itu sesuai nuansa yang diceritakan. Tapi ini penangkapanku. Mungkin Tesla berbeda. Ada perjalanan perasaan dari sedih ke syahdu, dengan adanya sendang”.

Meskipun turut tampil pada pertunjukan pembuka, Dimas sendiri cukup menjadi penonton saat pentas kolaborasi Panenswara, sehingga dipahami bahwa ia lebih utuh dan leluasa menikmati pentas. “Jadi dengan mendengarkan itu nuansanya seolah-olah adegan itu muncul di kepala kita. Lagu-lagu itu sukses mengantarkan cerita. Mungkin secara tersurat itu enggak ada ya, tapi mood atau nuansanya itu benar-benar kerasa,” tutur Dimas.

Tesla adalah musisi dengan penciptaan musik dalam komposisi yang jelas strukturnya. Benar ia musisi eksperimental, tapi eksperimen tentu berbeda dengan impulsif. Musik eksperimental, seperti yang baru saja saya tonton, memang cukup susah ditangkap kalau hanya didengarkan bunyinya. Tapi musik terlalu sempit jika dimaknai sebagai musik itu sendiri.

Bagi Tesla, ruang adalah instrumen lain yang perlu ia respon dengan eksperimen dan drama tertentu yang inheren dengan konteks sinkronis. Apalagi, seperti pengakuannya sendiri, Clapar dengan Sendang Kali Rejo-nya adalah ruang pertama Tesla sebagai residensi di pedalaman Yogyakarta berkolaborasi dengan musik karawitan. Tak mengherankan jika ia terlihat gugup. Tapi malam itu Tesla sangat berhasil dengan eksperimennya. Kalau mungkin para penonton tak paham dengan alunan komposisi musiknya, jelas mereka dapat menangkap aura dan nuansa yang hendak disampaikan Tesla.

Ketika pementasan Panenswara rampung digelar, lampu-lampu neon kembali dinyalakan. Tesla bersama personel Karawitan Trisula berdiri, tersenyum-senyum sambil mendekapkan tangan, menyambut tepuk tangan yang bergaung panjang di langit Clapar. Tepuk tangan untuk sebuah pertunjukan yang hebat. Sebuah kisah tentang sosio-historis upacara adat Nawu Sendang baru saja didongengkan, tanpa sekalipun secara harfiah dituturkan.

*Versi berbeda dari tulisan ini pernah tayang lebih dulu di fky.id

--

--