Saat Mbah Maimun Wafat…
--
Selasa yang cerah, jam pelajaran ketiga, seperti biasa, saatnya kami memerhatikan Pak Ilyas mendedah pelajaran “Bahasa Asing” yang sebenarnya tak asing bagi madrasah ini: bahasa Arab. Namun bisa juga disebut “asing”, jika melihat bahwa bahasa Arab yang dipelajari adalah bahasa yang jarang ditemui di kitab klasik. Semacam Departemen, Garpu, Rongsen dan lain sebagainya.
Namun sekitar pukul sepuluh selasa itu, beberapa tampak terkantuk-kantuk menghadapi Bahasa Asing yang sukar dan Pak Ilyas yang semangatnya berkobar-kobar. Makin hari, Pak Ilyas tak lelah-lelah menggembleng kami, mengingat UNAS beberapa bulan lagi diadakan dan Bahasa Asing adalah satu-satunya mata pelajaran yang bisa kami maksimalkan. Tak perlu berharap muluk-muluk untuk Bahasa Inggris dan Matematika.
Maka semakin hari, kami semakin sering berlatih menjawab pertanyaan-pertanyaan; menulis apa yang di papan; menghapalkan kosakata yang diperlukan. Dan selama itu pula Pak Ilyas tak bosan-bosan mengingatkan. Kelas tiba-tiba menjadi serius.
Tetapi di tengah keseriusan itu, 6 Agustus 2019, tiba-tiba TOA madrasah berdenging, tanda akan adanya pengumuman. Saya kira, madrasah selalu mempergunakan TOA saat waktu sedang senggang dan tak pernah bertabrakan dengan KBM yang sedang berjalan. Maka pastilah ini pengumuman darurat.
Pak Ilyas pun bijak menghadapinya. Beliau tak hanya sejenak menghentikan pelajaran, tapi juga minggir ke dekat pintu: tanda saksama mendengarkan. Kami melongo menunggu apa yang akan diumumkan.
“Innalillahi wa inna ilaihi rojiun …”
Kami tercekat menanti siapa yang akan disebutkan.
“…Telah pulang ke Rahmatullah, KH Maimun Zubair, di Makkah”
Sendi-sendi kami seketika terlepas, menanggung duka yang tak tertangguhkan. Seorang kawan saya malah spontan berteriak “Ya Allah” dan meremas rambutnya keras-keras, seperti penyesalan penyerang sepak bola yang gagal menuntaskan peluang emas.
Lalu TOA itu melanjutkan dengan doa-doa untuk Mbah Mun. Tapi kelas kami seperti tak peduli, karena sekelas mendadak hening. Senyap. Semua anak tampaknya bergejolak dengan kepalanya masing-masing. Pak Ilyas menerawang, lisannya berkecumik, pandangannya hampa. Lama sekali. Pelajaran tak kunjung dilanjutkan, seperti sedang mengheningkan cipta. Benar-benar lama: seumur-umur sepertinya tak pernah kelas saya menanggung jeda sedemikian lama.
Setelah Pak Ilyas selesai, waktu istirahat diganti dengan tahlil bersama di halaman. Kawan saya yang tadi spontan meremas rambut, kini menangis tersedu-sedu di antara alunan-alunan kalimat thoyyibah.
Namun karena seperti tak percaya jika hanya pengumuman, kami langsung menghubungi teman seangkatan yang juga sedang berhaji. Darinya, kami melihat video-video yang direkamnya sendiri. Terlihat orang-orang berkerumun, berebut mendekat Mbah Mun yang sudah wafat.
Dan dari teman seangkatan kami yang pertama kali haji itu pula, kami dapat ziarah virtual ke makam Mbah Mun. Saat kami sedang serius mengerjakan buku kajian “Manzhumah at-Tafsir” & ”Faidh al-Khabir” di Jombang, Wak Kaji itu tiba-tiba video call. Ia sedang berziarah di Ma’la, tempat Mbah Mun dan Sayyid Alawy, pengarang Faidh al-Khabir, dimakamkan. Dan di Ma’la itu, di depan Sayyid Alawy, ia berziarah dengan membawa kitab yang sedang kami kaji di Jombang.
Hari ini, 5 Dzulhijjah 1442, adalah haul ke-2 Mbah Kyai Maimun Zubair. Al-Fatihah untuk beliau…